ASAS-ASAS DALAM PERJANJIAN
Oleh: PITAHONO
A. ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK
- Pengertian Asas kebebasan berkontrak
Kontrak
atau contracts (dalam bahasa inggris) dalam pengertian yang lebih luas
sering dinamakan juga dengan istilah perjanjian. Kontrak adalah
Peristiwa di mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis.
Para pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan, berkewajiabn
untuk menaati dan melaksanakannya, sehingga perjanjian tersebut menimbulkan
hubungan hokum yang disebut perikatan (verbintenis).
- Ketentuan Kebebasan Berkontrak dalam KUH Perdata
Dalam KUH Perdata, ketentuan
mengenai asas kebebasan berkontrak dapat dijumpai dalam pasal 1338 (1) KUH
Perdata yang menyatakan bahwa, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Menurut Subekti, pasal tersebut
seolah-olah membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa kita diperbolehkan
membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya
undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa saja yang
dinamakan “ketertiban umum dan kesusilaan”. Istilah “semua” di dalamnya
terkandung asas partij autonomie, freedom of contract, beginsel
van de contract vrijheid, menyerahkan sepenuhnya kepada para pihak mengenai
isi maupun bentuk perjanjian yang akan mereka buat, termasuk penuangan ke dalam
bentuk kontrak standar.
Menurut Sutan Remi Sjahdeini, asas kebebasan
berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia mencakup hal-hal berikut : pertama:
Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, kedua: Kebebasan
untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian, ketiga:
Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan
dibuatnya, keempat: Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian dan kelima:
Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat
opsional (anvullend, optional).
Namun, kebesan tersebut bukan berarti tanpa batas,
yang memungkinkan terjadinya pemaksaan dan eksploitasi oleh satu pihak terhadap
pihak lainnya, sehingga berakibat pada terjadinya ketidakadilan. Oleh karena
itu, Prof. Agus Yudha Hernoko berpendapat bahwa asas kebebasan berkontrak yang
diderivasikan dari penafsiran atas pasal 1338 tersebut harus dibingkai oleh
pasal-pasal lain dalam satu kerangka sistem hukum kontrak yang bulat dan utuh.
Pasal-pasal tersebut antara lain:
- Pasal 1320 KUHPerdata, mengenai syarat sahnya perjanjian (kontrak)
- Pasal 1335 KUHPerdata, yang melarang dibuatnya kontrak tanpa causa, atau dibuat berdasarkan suatu kausa yang palsu atau terlarang, dengan konskuensi tidaklah mempunyai kekuatan
- Pasal 1337 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.
- Pasal 1338 (3) KUHPerdata, yang menetapkan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik.
- Pasal 1339 KUHperdata, menunjuk terikatnya perjanjian kepada sifat, kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Kebiasaan yang dimaksud dalam pasal 1339 KUHPer bukanlah kebiasaan setempat, akan tetapi ketentuan-ketentuan yang dalam kalangan tertentu selalu diperhatikan.
- Pasal 1347 KUHper mengatur mengenai hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukan ke dalam kontrak (bestandig gebruiklijk beding)
Dengan mengaitkan satu sama lain pasal-pasal dalam
KUHPerdata mengenai ketentuan-ketentuan dalam melakukan perjanjian, maka kebebasan
berkontrak tidak hanya dijamin dalam hukum perjanjian, namun pada saat
bersamaan kebebasan tersebut harus dibingkai ketentuan-ketentuan lainnya
sehingga suatu perjanjian dapat berlangsung secara proporsional dan adil.
B. ASAS PACTA SUNT SERVANDA
- Pengertian Pacta Sunt Servanda
Pacta Sunt Servanda (aggrements must be
kept) adalah asas hukum yang menyatakan bahwa “setiap perjanjian menjadi
hukum yang mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian. Asas ini menjadi
dasar hukum Internasional karena termaktub dalam pasal 26 Konvensi Wina 1969
yang menyatakan bahwa “every treaty in force is binding upon the parties to
it and must be performed by them in good faith” (setiap perjanjian mengikat
para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik).
Pacta
sunt Servanda
pertama kali diperkenalkan oleh Grotius yang kemudian mencari dasar pada sebuah
hukum perikatan dengan mengambil pronsip-prinsip hukum alam, khususnya kodrat.
Bahwa seseorang yang mengikatkan diri pada sebuah janji mutlak untuk memenuhi
janji tersebut (promissorum implendorum obligati).
Menurut Grotius, asas pacta sunt servanda ini
timbul dari premis bahwa kontrak secara alamiah dan sudah menjadi sifatnya
mengikat berdasarkan dua alasan, yaitu :
- Sifat kesederhanaan bahwa seseorang harus berkejasama dan berinteraksi dengan orang lain, yang berarti orang ini harus saling mempercayai yang pada gilirannya memberikan kejujuran dan kesetiaan
- Bahwa setiap individu memiliki hak, dimana yang paling mendasar adalah hak milik yang bisa dialihkan. Apabila seseorang individu memilik hak untuk melepaskan hak miliknya, maka tidak ada alasan untuk mencegah dia melepaskan haknya yang kurang penting khususnya melalui kontrak.
C. ASAS
KONSENSUALISME
Asas
konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata
sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan
sesuatu formalitas.
Dengan
demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Menurut pasal 1338 ayat 1 KUHPerd bahwa “Semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Penjelasan dari pasal diatas adalah dalam soal perjanjian, kita
diperbolehkan membuat undang-undang bagi kita sendiri. Pasal-pasal dari Hukum
Perjanjian hanya berlaku apabila atau sekedar kita tidak mengadakan
aturan-aturan sendiri dalam perjanjian-perjanjian yang akan kita adakan itu.
Sebagai salah satu contoh dalam hal perjanjian jual beli resiko mengenai barang
yang diperjual belikan, menurut Hukum Perjanjian harus dipikul oleh si pembeli
sejak saat perjanjian jual beli ditutup. Tetapi apabila para pihak menghendaki
lain tetap diperbolehkan.
Asas Konsensualisme adalah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang
timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan,
artinya perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang
pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas.
Pada umunya perjanjian-perjanjian itu pada umumnya konsensuil, adakalanya
undang-undang menetapkan, bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diharuskan
perjanjian itu diadkan secara tertulis atau dengan akta Notaris, tetapi hal
yang demikian hanya merupakan suatu kekecualian.
Asas Konsensualisme lazimnya disimpulkan dalam pasal 1320 KUHPerd yang
berbunyi:
“Untuk sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya; 2.
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab
yang halal”.
Dimana syarat nomor 1 dan 2 disebut sebagai syarat subjektif, sedangkan
syarat nomor 3 dan 4 disebut sebagai syarat objektif. Dalam hal salah satu saja
dari syarat subjektif tidak terpenuhi, maka Perjanjian dapat dibatalkan, dalam
artian Perjanjian tidak menjadi batal dengan sendirinya. Sedangkan dalam hal
salah satu saja syarat objektif tidak terpenuhi, maka Perjanjian menjadi batal
demi hukum.
D. ASAS
IKTIKAD BAIK
Tiap orang yang membuat suatu perjanjian harus dilakukan dengan itikad
baik. Asas itikad baik ini dapat dibedakan antara itikad baik yang subyektif
dan itikad baik yang obyektif. Itikad baik dalam pengertian subyektif dapat diartikan
sebagai kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa
yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum.
Sedangkan itikad baik dalam pengertian obyektif, maksudnya bahwa pelaksanaan
suatu perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepatutan atau sesuatu yang
dirasakan sesuai dengan yang patut dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Anis
Mohammad, 2010, Asas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian Standar Contract,
Universitas Diponogoro, Semarang.
Munir Fuady,
1999, Hukum Kontrak dari Sudut Pandangan Hukum Bisnis, Citra Aditya, Bandung.
J. Satrio,
S.H., Hukum Perjanjian, PT Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1992
A Qirom
Syamsudin Meliala, S.H., Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta
Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, 1985
Prof.
Abdulkadir Muhammad, S.H., Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan
Perdagangan, PT. Citra Adtya Bhakti, Bandung, 1992